Puisi-puisi Jalaludin
Rumi
Jalaludin Rumi atau nama lengkapnya
Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri adalah sang
pujangga dari tanah Persia. Selain penyair dia juga tokoh sufi yang berpengaruh
di zamannya dia lahir pada 30 September 1207 Masehi
di Balkh sebuah kota kecil di kota Khurasan, Afghanistan dan meninggal pada 17
Desember 1273 Masehi di Konya (Turki).
Jalaluddin Rumi, ia
mengekspresikannya tulisannya dalam bahasa cinta yang syarat makna. Melalui
puisi-puisinya Rumi menyampaikan bahwa pemahaman atas dunia hanya mungkin
didapat lewat cinta, bukan semata-mata lewat kerja fisik. Dalam puisinya Rumi
juga menyampaikan bahwa Tuhan, sebagai
satu-satunya tujuan, tidak ada yang menyamai.
RUH ORANG-ORANG SUCI
Ada air mengalir turun dari Surga
Membersihkan dunia dosa berkat rahmat Tuhan.
Lantas, setelah seluruh persediaannya habis, kebajikannya pun sirna,
Legam kena polusi dari yang bukan dirinya, segera
Kembali ia ke Sumber segala kesucian;
Setelah segar mandi, kembali ia ke bumi menyapu agi,
Menyeret jubah keluhuran cemerlang suci.
Air ini adalah Ruh Orang-orang suci,
Yang senantiasa memberi, sampai akhirnya papa,
Balsem Tuhan kepada jiwa yang menderita, kemudian kembali
Kepada Dia yang mencipta cahaya Surga paling murni.
Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. V, 200
Membersihkan dunia dosa berkat rahmat Tuhan.
Lantas, setelah seluruh persediaannya habis, kebajikannya pun sirna,
Legam kena polusi dari yang bukan dirinya, segera
Kembali ia ke Sumber segala kesucian;
Setelah segar mandi, kembali ia ke bumi menyapu agi,
Menyeret jubah keluhuran cemerlang suci.
Air ini adalah Ruh Orang-orang suci,
Yang senantiasa memberi, sampai akhirnya papa,
Balsem Tuhan kepada jiwa yang menderita, kemudian kembali
Kepada Dia yang mencipta cahaya Surga paling murni.
Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. V, 200
CINTA, SANG PENERANG
Perih Cinta inilah yang membuka tabir hasrat pencinta:
Tiada penyakit yang dapat menyamai dukacita hati ini.
Cinta adalah sebuah penyakit karena berpisah, isyarat
Dan astrolabium rahasia-rahasia Ilahi.
Apakah dari jamur langit ataupun jamur bumi,
Cintalah yang membimbing kita ke Sana pada akhirnya.
Akal ’kan sia-sia bahkan menggelepar ’tuk menerangkan Cinta,
Bagai keledai dalam lumpur: Cinta adalah sang penerang Cinta itu sendiri.
Bukankah matahari yang menyatakan dirinya matahari?
Perhatikanlah ia! Seluruh bukit yang kau cari ada di sana.
Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 109
Tiada penyakit yang dapat menyamai dukacita hati ini.
Cinta adalah sebuah penyakit karena berpisah, isyarat
Dan astrolabium rahasia-rahasia Ilahi.
Apakah dari jamur langit ataupun jamur bumi,
Cintalah yang membimbing kita ke Sana pada akhirnya.
Akal ’kan sia-sia bahkan menggelepar ’tuk menerangkan Cinta,
Bagai keledai dalam lumpur: Cinta adalah sang penerang Cinta itu sendiri.
Bukankah matahari yang menyatakan dirinya matahari?
Perhatikanlah ia! Seluruh bukit yang kau cari ada di sana.
Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 109
CINTA WANITA
Jika secara lahir isterimu yang kauatur, maka secara batin
engkaulah yang diatur isterimu yang kaudambakan itu
Inilah ciri khas Manusia: pada jenis binatang lain cinta kurang terdapat, dan itu menunjukkan rendahnya derajat mereka.
Nabi bersabda bahwa wanita mengungguli orang bijak, sedangkan laki-laki yang sesat mengunggulinya; karena pada mereka kebuasan bintang tetap melekat.
Cinta dan kelembutan adalah sifat manusia, amarah dan gairah nafsu adalah sifat binatang.
Wanita adalah seberkas sinar Tuhan: dia bukan kekasih duniawi. Dia berdaya cipta: engkau boleh mengatakan dia bukan ciptaan.
Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 2431
Inilah ciri khas Manusia: pada jenis binatang lain cinta kurang terdapat, dan itu menunjukkan rendahnya derajat mereka.
Nabi bersabda bahwa wanita mengungguli orang bijak, sedangkan laki-laki yang sesat mengunggulinya; karena pada mereka kebuasan bintang tetap melekat.
Cinta dan kelembutan adalah sifat manusia, amarah dan gairah nafsu adalah sifat binatang.
Wanita adalah seberkas sinar Tuhan: dia bukan kekasih duniawi. Dia berdaya cipta: engkau boleh mengatakan dia bukan ciptaan.
Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 2431
”KEPADA-MU AKU MENGHADAP”
O Kau yang menghibur jiwaku di kala duka
O kau harta ruhku di kala pahitnya maut datang mencengkam!
Yang khayalan tak sanggup menduga, dan pengertian tak sampai menyaksikan,
Mengunjungi jiwaku dari-Mu; maka kepada-Mu aku menghadapkan doaku.
Dengan keagungan-Mu ke kehidupan abadi kutetapkan tatapan mesraku,
Kecuali, O Raja, bila kemegahan duniawi menyesatkanku.
Pertolongan dia yang membawa kabar gembira dari-Mu,
Meski tanpa panggilan-Mu, bagi telingaku lebih merdu daripada lagu-lagu.
Walau Karunia yang tak pernah berhenti 'kan menawarkan kerajaan,
Walau Harta benda yang Tersembunyi di hadapanku ’kan diletakkan,
Aku akan bersujud dengan seluruh jiwaku, 'kan kuletakkan wajahku pada debu
Aku akan berseru, "Dari semuanya ini, cinta dari yang Satu itulah yang kudambakan!"
Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Diwan, S P, VI
O kau harta ruhku di kala pahitnya maut datang mencengkam!
Yang khayalan tak sanggup menduga, dan pengertian tak sampai menyaksikan,
Mengunjungi jiwaku dari-Mu; maka kepada-Mu aku menghadapkan doaku.
Dengan keagungan-Mu ke kehidupan abadi kutetapkan tatapan mesraku,
Kecuali, O Raja, bila kemegahan duniawi menyesatkanku.
Pertolongan dia yang membawa kabar gembira dari-Mu,
Meski tanpa panggilan-Mu, bagi telingaku lebih merdu daripada lagu-lagu.
Walau Karunia yang tak pernah berhenti 'kan menawarkan kerajaan,
Walau Harta benda yang Tersembunyi di hadapanku ’kan diletakkan,
Aku akan bersujud dengan seluruh jiwaku, 'kan kuletakkan wajahku pada debu
Aku akan berseru, "Dari semuanya ini, cinta dari yang Satu itulah yang kudambakan!"
Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Diwan, S P, VI
CINTA DALAM KETIADAAN
Betapa tak ’kan sedih aku, bagai malam, tanpa hari-Nya serta
keindahan wajah hari terang-Nya?
Rasa pahit-Nya terasa manis bagi jiwaku: semoga hatiku menjadi korban bagi Kekasih yang membuat pilu hatiku!
Aku sedih dan tersiksa karena Cinta demi kebahagiaan Rajaku yang tiada bandingnya.
Titk air mata demi Dia adalah mutiara, meski orang menyangka sekedar air mata.
Kukeluhkan jiwa dari jiwaku, namun sebenarnya aku tidak mengeluh: aku cuma berkisah.
Hatiku bilang teriksa oleh-Nya, dan kutertawakan seluruh dalihnya.
Perlakukanlah aku dengan benar, O Yang Maha Benar, O Engkaulah Mimbar Agung, dan akulah ambang pintu-Mu!
Di manakah sebenarnya ambang pintu dan mimbar itu? Di manakah sang Kekasih, di manakah “kita” dan “aku”?
O Engkau, Jiwa yang bebas dari “kita” dan “aku”, O Engkaulah hakekat ruh lelaki dan wanita.
Ketika lelaki dan wanita menjadi satu, Engkau-lah Yang Satu itu; ketika bagian-bagian musnah, Engkau-lah Kesatuan itu.
Engkau ciptakan ”aku” dan ”kita” supaya memainkan puji-pujian bersama diri-Mu,
Hingga seluruh ”aku” dan ”engkau” dapat menjadi satu jiwa serta akhirnya lebur dalam sang Kekasih.
Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas I. 1776
Rasa pahit-Nya terasa manis bagi jiwaku: semoga hatiku menjadi korban bagi Kekasih yang membuat pilu hatiku!
Aku sedih dan tersiksa karena Cinta demi kebahagiaan Rajaku yang tiada bandingnya.
Titk air mata demi Dia adalah mutiara, meski orang menyangka sekedar air mata.
Kukeluhkan jiwa dari jiwaku, namun sebenarnya aku tidak mengeluh: aku cuma berkisah.
Hatiku bilang teriksa oleh-Nya, dan kutertawakan seluruh dalihnya.
Perlakukanlah aku dengan benar, O Yang Maha Benar, O Engkaulah Mimbar Agung, dan akulah ambang pintu-Mu!
Di manakah sebenarnya ambang pintu dan mimbar itu? Di manakah sang Kekasih, di manakah “kita” dan “aku”?
O Engkau, Jiwa yang bebas dari “kita” dan “aku”, O Engkaulah hakekat ruh lelaki dan wanita.
Ketika lelaki dan wanita menjadi satu, Engkau-lah Yang Satu itu; ketika bagian-bagian musnah, Engkau-lah Kesatuan itu.
Engkau ciptakan ”aku” dan ”kita” supaya memainkan puji-pujian bersama diri-Mu,
Hingga seluruh ”aku” dan ”engkau” dapat menjadi satu jiwa serta akhirnya lebur dalam sang Kekasih.
Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas I. 1776
NYANYIAN SERULING BAMBU
Dengarkan nyanyi sangsai Seruling Bambu
Mendesah selalu, sejak direnggut
Dari rumpun rimbunnya dulu, alunan
Lagu pedih dan cinta membara.
“Rahasia nyanyianku, meski dekat,
Tak seorang pun bisa mendengar dan melihat
Oh, andai ada teman tahu isyarat
Mendekap segenap jiwanya dengan jiwaku!
Ini nyala Cinta yang membakarku,
Ini anggur Cinta mengilhamiku.
Sudilah pahami betapa para pencinta terluka,
Dengar, dengarkanlah rintihan Seruling!”
Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I
Mendesah selalu, sejak direnggut
Dari rumpun rimbunnya dulu, alunan
Lagu pedih dan cinta membara.
“Rahasia nyanyianku, meski dekat,
Tak seorang pun bisa mendengar dan melihat
Oh, andai ada teman tahu isyarat
Mendekap segenap jiwanya dengan jiwaku!
Ini nyala Cinta yang membakarku,
Ini anggur Cinta mengilhamiku.
Sudilah pahami betapa para pencinta terluka,
Dengar, dengarkanlah rintihan Seruling!”
Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I
TIDUR TERHADAP DUNIA
Setiap malam Kau bebaskan ruh kami dari jerat tubuh dan Kau
hapus seluruh kenangan dari ingatan.
Setiap Malam ruh kami bebas dari sangkar ini, selesailah sudah segala pertemuan, bincang-bincang dan kisah.
Di malam hari para tahanan melupakan penjaranya, di malam hari para pembesar pun melupakan kekuasaannya.
Tiada duka, pertimbangan untung maupun rugi, gagasan orang ini ataupun orang lain.
Demikianlah keadaan orang Sufi, sekalipun dia tak lagi tidur: Tuhan berfirman, “(Kau tentu mengira mereka itu bangun) padahal mereka itu tidur.”
Dia tertidur, siang dan malam, terhadap urusan-urusan dunia ini, bagai sebuah pena di tangan Tuhan.
Tuhan telah memperlihatkan sebagian keadaannya, sedangkan orang yang kasar pun oleh tidur dapat terbuai:
Ruh mereka masuk ke Hutan Belantara yang kata tak sanggup mengucap, kata-kata, jiwa dan tubuh mereka istirahat.
Hingga dengan sebuah siulan Kau panggil mereka kembali ke jeratnya, membawa mereka kembali ke keadilan dan pengadilan.
Di saat fajar, seperti Israfil, Dia memanggil mereka kembali dari Sana ke dunia rupa.
Ruh-ruh yang tak berbentuk Dia tawan sekali lagi dan menjadikan setiap tubuh sarat ( dengan amal baik dan buruk).
Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 388
Setiap Malam ruh kami bebas dari sangkar ini, selesailah sudah segala pertemuan, bincang-bincang dan kisah.
Di malam hari para tahanan melupakan penjaranya, di malam hari para pembesar pun melupakan kekuasaannya.
Tiada duka, pertimbangan untung maupun rugi, gagasan orang ini ataupun orang lain.
Demikianlah keadaan orang Sufi, sekalipun dia tak lagi tidur: Tuhan berfirman, “(Kau tentu mengira mereka itu bangun) padahal mereka itu tidur.”
Dia tertidur, siang dan malam, terhadap urusan-urusan dunia ini, bagai sebuah pena di tangan Tuhan.
Tuhan telah memperlihatkan sebagian keadaannya, sedangkan orang yang kasar pun oleh tidur dapat terbuai:
Ruh mereka masuk ke Hutan Belantara yang kata tak sanggup mengucap, kata-kata, jiwa dan tubuh mereka istirahat.
Hingga dengan sebuah siulan Kau panggil mereka kembali ke jeratnya, membawa mereka kembali ke keadilan dan pengadilan.
Di saat fajar, seperti Israfil, Dia memanggil mereka kembali dari Sana ke dunia rupa.
Ruh-ruh yang tak berbentuk Dia tawan sekali lagi dan menjadikan setiap tubuh sarat ( dengan amal baik dan buruk).
Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 388
NAMA KITA YANG SEBENARNYA
Pernahkah kau dengar nama dari segala sesuatu dari Yang
Mengetahui?: Dengarlah makna rahasia ’Dia mengajarkan kepadanya Nama-nama.'
Bagi kita, nama segala sesuatu adalah bentuk lahirnya; bagi Sang Pencipta, ia adalah hakekat batinnya.
Dalam pandangan Musa nama tongkatnya adalah ”tongkat’; dalam pandangan Tuhan namanya ”naga”.
Di dunia ini nama ’Umar adalah ”pemuja berhala”, namun di alam baka ia adalah ”mukmin yang sesungguhnya”.
Di hadapan Tuhan, pendek kata, segala yang merupakan tujuan kita adalah nama kita yang sebenarnya.
Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 1238
Bagi kita, nama segala sesuatu adalah bentuk lahirnya; bagi Sang Pencipta, ia adalah hakekat batinnya.
Dalam pandangan Musa nama tongkatnya adalah ”tongkat’; dalam pandangan Tuhan namanya ”naga”.
Di dunia ini nama ’Umar adalah ”pemuja berhala”, namun di alam baka ia adalah ”mukmin yang sesungguhnya”.
Di hadapan Tuhan, pendek kata, segala yang merupakan tujuan kita adalah nama kita yang sebenarnya.
Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 1238
Komentar